Pelestarian Koleksi Karya Rekam untuk Pembentukan Sejarah Peradaban Bangsa Â
Jakarta—Upaya pelestarian koleksi dokumenter bangsa, termasuk karya rekam, di Indonesia masih mengalami banyak kendala. Suhu dan kelembaban yang tinggi kurang mendukung kelestarian arsip karena rawan menimbulkan jamur dan bakteri. Selain itu, kondisi Indonesia yang rawan bencana membuat arsip rentan mengalami kerusakan.
Direktur Preservasi Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) Kandar menyatakan kondisi-kondisi tersebut menjadi permasalahan dalam penyimpanan arsip, khususnya arsip film. Karenanya, alih media atau digitalisasi arsip film melalui Data Recovery Centre harus dilakukan.
“Seperti yang kami alami di Bencana Garut pada 2016. Kami menemukan film pada saat film ini kami temukan, seminggu setelah kejadian kami bisa rawat, perbaiki, dan kami digitalisasi. Kami sudah serahkan ke pemerintah Garut. Tetapi yang lain, setelah satu bulan ditemukan, sudah tidak bisa dirawat lagi karena gambarnya sudah hilang. Ini tentu kita harus antisipasi bila terjadi bencana,†ujarnya dalam webinar “Pentingnya Pelestarian Dokumenter Sejarah Peradaban Bangsa†yang diselenggarakan Perpustakaan Nasional (Perpusnas) RI secara hybrid pada Kamis (22/4/2021).
Pelestarian dokumenter sejarah peradaban bangsa harus dilakukan untuk menjamin pemahaman rekam jejak budaya bangsa. Dia menjelaskan, preservasi arsip film dilakukan melalui upaya preventif dan kuratif. Preventif adalah memelihara dan melindungi arsip dari kerusakan, sementara kuratif adalah memperbaiki arsip yang rusak. Saat ini, arsip film yang ada di ANRI berjumlah 59.035 dan berisikan dokumenter, cerita, dan animasi. Salah satu arsip film yang dimiliki ANRI adalah pidato Bung Karno di Sidang PBB pada 1960.
“Semua arsip itu kita upayakan preventifnya. Kalau arsip sudah rusak, masuk ke kuratif, tentu ini akan menurunkan derajat keotentikannya, derajat kepercayaan, dan sebagainya,†jelasnya.
Menurutnya, kelestarian arsip film tidak dapat dipertahankan selamanya. Yang bisa dilakukan hanya memperlambat kerusakannya. Dia meminta agar ada kebijakan tegas terkait pengelolaan arsip film, didukung dengan sumber daya (sarana/prasarana, SDM, anggaran) yang memadai, dan percepatan digitalisasi menuju transformasi digital.
“Melestarikan arsip film dokumenter menjadi media dalam membangun kharakter bangsa, akan bermuara pada pembentukan sejarah peradaban bangsa,†ungkapnya.
Senior Audio Preservation Specialist National Film & Sound Archive of Australia Victor Fumic menjelaskan, standar penyimpanan audiovisual harus dalam suhu dingin berkisar 16 derajat Celcius dengan fluktuasi dua derajat dan kelembaban 35 persen. “Jika memang tidak bisa mencapai suhu ideal, usahakan mencapai suhu yang stabil,†ujarnya.
Sementara itu, Subject Librarian on Southeast Asia Leiden University Libraries Marije Plomp menyatakan pihaknya memiliki koleksi buku, foto dan lukisan, manuskrip, map, audiovisual, grey literature, dan arsip mengenai Asia Tenggara. Saat ini, Perpustakaan Universitas Leiden memiliki cabang di Jakarta.
“Kami mengumpulkan koleksi kuno dan unik dari Indonesia. Tidak hanya manuskrip tapi juga koleksi modern. Kami juga mempunyai banyak variasi materi, jadi tidak hanya buku, dokumen, dan manuskrip. Ada juga tiket film, menu dari restoran, dan materi yang tidak disimpan dalam waktu lama,†urainya.
Dia menegaskan, koleksi perpustakaannya terkait Indonesia, terbuka untuk para peneliti dan bisa diakses secara daring. Peneliti Indonesia juga bisa berkunjung langsung atau melalui cabang di Jakarta.
Sebagai informasi, Perpustakaan universitas berpartner dengan Perpusnas terkait Warisan Ingatan Dunia dari Unesco yakni Naskah Panji, La Galigo, dan Babad Diponegoro.
Reporter: Hanna Meinita