Menguatkan Ekosistem Buku demi Perluas Akses Literasi
Medan Merdeka Selatan, Jakarta – Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (Perpusnas) menggencarkan penguatan sektor perbukuan sebagai upaya memperluas akses literasi bagi masyarakat.
Hal ini disampaikan oleh Kepala Pusat Bibliografi dan Pengolahan Bahan Perpustakaan, Supriyanto, dalam pertemuan virtual melalui Zoom Meeting pada Rabu (30/4/2025).
Supriyanto menekankan pentingnya memahami unsur-unsur utama dalam ekosistem perbukuan, yakni melibatkan penerbit, penjual buku, dan perpustakaan sebagai elemen strategis.
“Buku adalah penghubung antara masa lalu dan masa depan, sekaligus menjadi jembatan antargenerasi dan lintas budaya,” ujar Supriyanto.
Ia juga mengungkap bahwa berdasarkan data layanan International Standard Book Number (ISBN) Perpusnas, terdapat tiga kategori besar terbitan buku di Indonesia: terbitan dari penerbit swasta, penerbit kementerian dan kelembagaan, serta penerbit perguruan tinggi.
“Penguatan perbukuan ini telah diwujudkan melalui berbagai inisiatif, salah satunya program bantuan buku. Dalam dua tahun terakhir, Perpusnas telah menyalurkan masing-masing 1.000 buku ke lebih dari 10.000 perpustakaan di desa/kelurahan dan Taman Bacaan Masyarakat (TBM),” ungkapnya.
Ketua Umum Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI), Arys Hilman, turut menyoroti pentingnya memperkuat rantai pasok dalam industri perbukuan. Ia menegaskan bahwa perhatian tidak boleh hanya terfokus pada isi buku, tetapi juga pada distribusinya hingga benar-benar sampai ke tangan pembaca.
“Kita tidak cukup hanya bicara soal isi buku, tetapi juga harus memastikan buku itu bisa diakses pembaca. Di situlah fungsi buku akan berjalan dengan baik,” ucapnya.
Kekhawatiran terhadap rendahnya kemampuan literasi juga disampaikan. Berdasarkan hasil studi Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) pada tahun 2022, mayoritas anak-anak usia 15 tahun di Indonesia masih kesulitan memahami teks panjang dan menunjukkan kemampuan berpikir kritis yang rendah terhadap informasi.
“Sebanyak 69,9 persen berada pada level 1 dan 21,8 persen pada level 2, meskipun tingkat literasi baca tampak tinggi secara teknis,” terangnya.
Saiful Afidhan, salah satu narasumber dalam pertemuan tersebut, menggarisbawahi bahwa tanggung jawab penerbit tidak berhenti pada penerbitan ISBN.
“Perlu diingat bahwa penerbitan tidak hanya sebatas memperoleh ISBN. Setelah itu, ada tanggung jawab moral untuk mendistribusikan dan memastikan buku benar-benar dimanfaatkan secara luas oleh masyarakat,” sebutnya.
Reporter: Nadia / Alditta Khoirun Nisa
Dokumentasi: Nadia
Galeri


